Sesederhana Cinta Sang Pengemudi Sepit

Next review tentang novelnya bang Tere Liye yang berjudul Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.

Novel ini bercerita tentang kisah cinta pengemudi sepit yang jatuh cinta kepada seorang wanita berwajah oriental. Cinta yang sederhana sesederhana pemikirannya. Cinta yang penuh dengan kesabaran dan penuh kepolosan. 

Ada tujuh miliar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada satu miliar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan dunia mana, berbinar, harap-harap cemas, gemetar, malu-malu menyatakan perasaannya.
Apakah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini sama spesialnya dengan miliaran cerita cinta lain? Sama istimewanya dengan kisah cinta kita? Ah, kita tidak memerlukan sinopsis untuk memulai membaca cerita ini. Juga tidak memerlukan komentar dari orang-orang terkenal. Cukup dari teman, kerabat, tetangga sebelah rumah. Nah, setelah tiba di halaman terakhir, sampaikan, sampaikan kemana-mana seberapa spesial kisah cinta ini. Ceritakan kepada mereka.

Indah, indah sekali sebuah perjalanan cinta yang dibungkus dengan kesabaran, dengan kepolosan cinta, penuh malu-malu, takut sekali mau menyapa, melucu yang tidak lucu. Begitulah si Borneo atau biasa dipanggil Borno sang pengemudi sepit di bantaran sungai kapuas.

Tingkahnya yang semakin menjadi terkadang aneh, salah tingkah, polos dan membuat gadis idamannya tersebut terkadang tidak habis pikir dengan tingkahnya. hihihii
Mulai dari setiap pagi menunggu Mei di urutan sepit nomor 13. Sengaja tidak mau narik sepitnya sebelum ada Mei menjadi salah satu penumpangnya. Melihatnya dengan malu-malu. Sekuat tenaga mengumpulkan keberanian mengajaknya bercakap-cakap dan lucunya tuh, terkadang apa yang dibahasnya tidak nyambung satu sama lain. hahaha

Begitulah bagi Borno, Mei (wanita idamannya tersebut) adalah yang terpenting baginya. Tidak ada yang lain. Teringat pada saat Mei akan meninggalkan Pontianak, dia tanpa memikirkannya lagi, langsung meluncur ke bandara. Ingin sekali bilang jangan pergi, jangan pergi..

Kegigihannya dalam bekerja. Ikhlas saja. Membuatku juga mengidolakan sosok Borno. Andaikan dia adalah tokoh nyata.....\\(^-^)//

Novel ini banyak berbicara tentang perasaan. Suka duka sebuah perasaan cinta yang sering membelenggu. Beruntungnya, Borno selalu mempunyai tempat dia untuk curhat, yaitu Pak Tua, yang sudah dianggap seperti ayahnya sendiri atau kakeknya atau sahabat atau tempat konselingnya atau apalah sejenis itu. Pak Tua, seringkali memberikan nasihat-nasihat bijak. 
"Perasaan adalah perasaan, Borno. Orang seperti kau, lebih suka rusuh dengan perasaan itu sendiri. Rusuh dengan harapan, semoga besok bertemu, semoga besok ada penjelasan baiknya. Semoga. Semoga. Kau sibuk sendiri, tanpa menyadari Mei juga sibuk sendiri. Astaga, apa susahnya kau menemui Mei, bertanya baik-baik. Kalaupun gadis itu menjawab plintat-plintut, tidak jelas apa maunya, serba peragu, tiba-tiba mundur satu langkah, bahkan menjadi cemas bertemu kau, itulah sifat perasaan, butuh waktu, butuh proses. Sialnya, kalian berdua punya karakter naif. "
 dan...
"Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kaupamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu."
dan...
"Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang."
 Dan masiih banyaaaaaaaakkk lagi kalimat-kalimat hebat :D
Recommended banget deeh novel ini untuk memaknai perasaan :))
 

Comments