Yang Kumaksud Adalah Kamu

Aku tidak sedang membicarakan orang lain, aku membicarakan kita.

"Jadi kapan nikah? Katanya kamu suka sama seseorang? Udah dilamar belum?" tanyamu.

"Hahaha nikah, ya? Belum tahu, agak susah nih," ujarku.

"Bagaimana susahnya? Perlu kubantu gak nih?" katamu.

"Hmm, yakin mau bantu?" tanyaku ragu.

"Ya, kalau mau dibantu, sih." Kamu menjawab sambil asik memainkan sepatumu.

"Dia orangnya tomboy, macam kamu ini, sukanya naik gunung. Dia susah ditebak sekaligus sulit ditembus hatinya, tidak bisa dengan rayuan gombal apalagi dengan perhatian. Dia sangat mandiri. Aku sampai bingung membayangkan siapa laki-laki yang bisa meluluhkan hatinya. Dia juga sangat aktif di banyak organisasi, cerdas, sampai-sampai beberapa temanku takut untuk mendekatinya karena merasa inferior."

"Haha kamu nyindir aku, ya?" candamu.

"Haha kesindir, ya? Tapi memang begitu tipikalnya. Aku bingung bagaimana cara mendekati dengan benar," ujarku.

"Dia suka baca gak?" tanyamu.

"Sepertinya dia suka baca. Beberapa kali kulihat dia sedang membaca buku di perpustakaan kota."

"Kamu ngikutin dia?"

"Gak sengaja ketemu kalau aku ke perpustakaan. Pas kita bareng ke perpustakaan waktu itu, di sana juga ada dia. Cuma kamu nggak tahu," sanggahku.

"Kalau gitu, bacalah buku-buku yang sama dengan yang dia baca. Barangkali kamu akan menemukan pola pikirnya di sana," saranmu.

"Begitu ya? Apalagi?" aku bertanya antusias.

"Tahu rumahnya? Sudah ke rumahnya? Biasanya tipikal begitu karena nggak suka didekati ala remaja masa kini, langsung saja ke rumahnya!"

"Tahu dan belum pernah ke sana. Itu beneran? Yakin berhasil? Apa enggak aneg kalau tiba-tiba begitu?" aku bertanya ragu.

"Kan kamu belum lakukan, mana kita tahu hasilnya. Kalau aku sih begitu," ujarmu yakin.

"Baiklah, aku lakukan dulu. Nanti kukabari hasilnya."

Kamu bergegas pamit karena masih dalam jam praktik. Kamu beranjak ke ruanganmu dan aku duduk menatapmu hilang di balik pintu. Aku menyadari kita sudah berteman sekian lama, sejak pertama kali kita masuk di kampus ini, meski kita beda jurusan. Aku sudah lulus dan kamu sedang sekolah profesi. Aku duduk di ruang tunggu rumang sakit ini, menemuimu hanya untuk mengantar titipanmu. Aku membuka ponsel, mencari sebuah kontak yang lengkap dengan alamat surel dan alamat rumah, lantas membuka aplikasi pemesanan tiket kereta api. Aku pergi sore ini.

Dua hari berselang setelah hari itu, sebuah pesan masuk ke ponselku. Pesan darimu.
"Ayah sudah cerita kalau kamu ke rumahku kemarin."
Aku tersenyum membaca pesan itu.


*******

Pas beres baca bagian cerita ini, reflek bilang "dih, ngeselin..hahaha". Rasanya kaya gombal, tapi manis XD. Kesel tapi pengen ketawa juga. Ikutan tersenyum kaya tokoh si cowo. Dih dih..ckck

Diambil dari buku : Lautan Langit (hal. 65-67, klik untuk lihat tulisan Lautan Langit lainnya)
Karya : Kurniawan Gunadi

Comments

Post a Comment